Koperasi Desa Merah Putih: Antara Harapan dan Tantangan dalam Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Desa

Kabar Karanganyar, – OPINI – Pemerintah mencanangkan Program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) sebagai langkah strategis untuk memperkuat ekonomi desa melalui koperasi. Dengan target pendirian 70.000 koperasi di seluruh Indonesia, program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani dan pelaku usaha kecil dengan membangun gudang penyimpanan dan gerai pemasaran di setiap desa. Langkah ini diharapkan mampu memotong rantai distribusi yang selama ini lebih menguntungkan tengkulak dibandingkan produsen. Namun, di balik gagasan besar ini, muncul berbagai tantangan yang perlu diantisipasi agar program ini tidak sekadar menjadi proyek jangka pendek yang gagal mencapai tujuannya.

Salah satu aspek krusial adalah mekanisme pendanaan. Pemerintah merancang skema pembiayaan dengan memanfaatkan dana desa, di mana setiap desa akan mendapatkan alokasi sebesar Rp3-5 miliar. Dana ini akan dikembalikan melalui anggaran desa dalam jangka waktu tiga hingga lima tahun. Model pendanaan ini mengundang pertanyaan, mengingat dana desa saat ini hanya berkisar Rp1 miliar per tahun. Jika tidak dikelola dengan bijak, skema ini dapat menjadi beban bagi desa dan justru mempersempit ruang fiskal untuk program pembangunan lain yang juga mendesak, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Tanpa transparansi yang ketat, besar kemungkinan dana ini disalahgunakan oleh elite desa atau diselewengkan dalam praktik korupsi yang telah lama menjadi permasalahan dalam proyek berbasis dana pemerintah.

Selain itu, tantangan dalam hal kapasitas sumber daya manusia (SDM) di desa juga patut menjadi perhatian serius. Tidak semua desa memiliki pengalaman dalam mengelola koperasi secara profesional. Banyak koperasi yang sebelumnya dibentuk justru gagal karena lemahnya manajemen, minimnya pengetahuan tentang tata kelola bisnis yang sehat, serta kurangnya akses terhadap pendampingan yang memadai. Oleh karena itu, keberhasilan Kopdes Merah Putih tidak bisa hanya bertumpu pada penyediaan dana semata, tetapi harus didukung dengan program pelatihan manajemen koperasi yang komprehensif. Pemerintah perlu melibatkan perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, serta koperasi yang telah sukses sebagai mitra dalam mendampingi desa agar koperasi yang dibangun benar-benar dapat berkembang dan memberikan manfaat ekonomi secara berkelanjutan.

Lebih jauh, model koperasi yang ditawarkan harus fleksibel dan berorientasi pada kebutuhan spesifik setiap desa. Struktur ekonomi desa di Indonesia sangat beragam, mulai dari pertanian, peternakan, perikanan, hingga industri kreatif dan jasa. Pendekatan yang seragam dalam membangun koperasi justru dapat menjadi hambatan bagi desa yang memiliki potensi berbeda. Oleh karena itu, program ini harus memberi ruang bagi desa untuk menentukan model koperasi yang paling sesuai dengan kondisi lokal mereka, bukan sekadar mengikuti format yang ditetapkan secara top-down oleh pemerintah pusat.

Keberlanjutan koperasi juga bergantung pada akses pasar yang jelas bagi produk desa. Tanpa ekosistem pemasaran yang solid, koperasi desa hanya akan berfungsi sebagai tempat penyimpanan tanpa kepastian penjualan. Pemerintah harus memastikan bahwa koperasi desa memiliki jalur distribusi yang efektif, baik ke pasar lokal, nasional, maupun internasional. Regulasi yang mendorong kemitraan antara koperasi desa dan sektor swasta, baik melalui skema perdagangan langsung maupun integrasi dalam rantai pasok industri pangan, perlu segera dirancang dan diimplementasikan. Insentif bagi perusahaan yang bersedia bermitra dengan koperasi desa juga dapat menjadi strategi untuk memperkuat daya saing produk desa di pasar yang lebih luas.

Di sisi lain, faktor infrastruktur dan teknologi juga menjadi kunci keberhasilan program ini. Penyediaan gudang penyimpanan yang memadai, sistem transportasi yang efisien, serta akses terhadap teknologi digital akan menentukan efektivitas koperasi dalam menjalankan fungsinya. Dalam era digital saat ini, koperasi desa harus mulai mengadopsi teknologi informasi, baik dalam pencatatan keuangan yang transparan maupun dalam pemasaran berbasis e-commerce. Tanpa inovasi dalam sistem pengelolaan dan pemasaran, koperasi desa hanya akan menjadi lembaga administratif tanpa dampak ekonomi yang nyata bagi warganya.

Namun, lebih dari sekadar aspek teknis dan finansial, program ini harus memastikan bahwa desa memiliki peran sentral dalam perumusan kebijakan. Program pembangunan desa yang ideal bukanlah program yang datang sebagai instruksi dari pemerintah pusat, melainkan program yang melibatkan masyarakat desa sebagai aktor utama dalam pengambilan keputusan. Diperlukan mekanisme konsultasi yang memungkinkan desa untuk menyampaikan aspirasi, mengevaluasi kebijakan, dan berpartisipasi aktif dalam proses implementasi program ini. Tanpa adanya partisipasi yang kuat dari masyarakat desa, program ini berisiko hanya menjadi kebijakan elitis yang tidak mencerminkan kebutuhan nyata di tingkat akar rumput.

Jika dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif masyarakat desa, program Koperasi Desa Merah Putih dapat menjadi tonggak baru dalam membangun ekonomi desa yang lebih mandiri dan berkelanjutan. Namun, jika hanya menjadi proyek politik tanpa perencanaan yang matang, program ini justru berpotensi menambah beban keuangan desa dan memperpanjang ketergantungan pada bantuan pemerintah. Di sinilah peran organisasi masyarakat, termasuk Forum Membangun Desa (FORMADES), menjadi penting dalam mengawal dan memastikan bahwa program ini benar-benar berpihak pada rakyat desa. Pembangunan desa yang sesungguhnya hanya dapat terwujud jika desa diberi ruang untuk tumbuh dengan kemandiriannya sendiri, bukan sekadar menjadi objek dari kebijakan yang bersifat seremonial dan jangka pendek.

Yoseph Heriyanto
Pengurus DPP FORMADES, Bidang LITBANG dan INOVASI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *